Pages

Subscribe:

Labels

Senin, 02 April 2012

PENELITIAN SOSIOLOGIS HUKUM ISLAM

A. Prakata


Setidaknya terdapat tiga pertanyaan mendasar untuk dijawab oleh setiap peneliti sebelum melakukan penelitian, yakni: (1) apa objek kajian penelitiannya, (2) apa mazhab (cara pandang) penelitian yang digunakan dan (3) bagaimana menelitinya. Objek kajian terkait dengan the body of knowledge (bangunan pengetahuan) masing-masing disiplin ilmu, mazhab (cara pandang) penelitian terkait dengan apa tujuan penelitian dilakukan, dan bagaimana meneliti terkait dengan cara perolehan data.
Karena setiap ilmu memiliki objek kajian yang berbeda satu dengan yang lain, maka mazhab dan cara menelitinya pun juga berbeda. Penelitian di bidang ekonomi, misalya, tentu menggunakan mazhab dan metode yang berbeda dengan penelitian di bidang antropologi, sejarah, sosiologi, fisika, dan sebagainya. Secara ontologik wilayah kajian ilmu terbatas pada kawasan yang berada dalam jangkauan pengalaman dan pengamatan manusia.
Pilihan mazhab penafsiran terkait secara mendasar dengan pokok persoalan, tujuan dan sifat dasar bahan kajian. Penentuan mazhab penelitian berimplikasi pada pilihan pendekatan (approach), metode (method), teknik (technique) ataupun cara dan piranti (ways and instruments) yang digunakan untuk memperoleh dan mengolah data.

B. Bahan Penelitian Hukum Islam

Secara umum, bahan kajian pada penelitian hukum Islam bisa dikategorikan menjadi dua. Kategorisasi ini, pada akhirnya nanti, akan menentukan teknik pengumpulan dan pengolahan data penelitian. Dua kategori dimaksud adalah: bahan-bahan normatif dan bahan-bahan empirik. Bahan normatif mencakup segala sumber hukum Islam yang sudah diakui. Di antaranya adalah Al Qur’an, Al Hadits, Ijma, Qiyas serta pendapat para ulama. Lazimnya, sudah dikenal bahwa di antara sumber-sumber hukum Islam ini tersusun secara hirarkhis. Al Qur’an merupakan sumber dari segala sumber hukum Islam. Demikian seterusnya, sehingga sumber hukum yang lebih tinggi bisa membatalkan keputusan yang diambil berdasarkan sumber hukum yang lebih rendah.
Bahan empirik mencakup praktik hukum, peristiwa hukum, dan pranata hukum seperti peradilan agama, lembaga fatwa, dan organisasi keagamaan Islam. Sesuai dengan sifatnya yang empirik, maka bahan-bahan ini sangat perlu dikumpulkan, diolah untuk kemudian dikenali pola-pola yang berlaku. Sebagaimana diniscayakan jauh sebelum kurun sekarang, kemajemukan mazhab dalam Islam melahirkan praktik hukum, peristiwa hukum, pranata hukum seperti peradilan agama, lembaga fatwa, dan organisasi keagamaan Islam yang beraneka-ragam. Karena itu, secara empirik sangat penting untuk diteliti dan dipahami oleh siapa pun yang mengambil keputusan untuk menjadi ahli hukum Islam.

C. Metodologi Penelitian Hukum Islam
Metode berarti jalan atau cara yang harus ditempuh, sedangkan 'teknik' berarti bagaimana melaksanakan jalan' dan 'cara'tersebut, sehingga yang menjadi tujuan tercapai. Dalam setiap penelitian, metode apakah dan teknik yang bagaimanakah yang akan digunakan, tergantung pada bidang ilmu pengetahuan dan masalah yang akan diteliti.

1. Metode Penelitian

Ilmu Hukum, sebagaimana namanya, memiliki batas ruang lingkup bidang Hukum, yaitu hukum sebagai aturan hidup manusia untuk dapat mewujudkan ketertiban dan keadilan. Ini mengingatkan kita pada pengertian umum agama, yakni ikatan yang diperlukan agar tidak terjadi ketercerai-beraian. Karena itu, agama apa pun, lebih-lebih Islam, niscaya dihayati sebagai kodifikasi aturan-aturan dengan segala konsekuensinya.
Sebagai aturan hidup manusia hukum apa pun niscaya bersifat normatif. Ini menunjuk pada norma-norma (kaidah-kaidah, patokan, ketentuan) baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang tetap.
Sebagai disiplin otonom, ilmu hukum (syariah) juga memiliki pendekatan dan metode yang khas. Sudah barang tentu, pendekatan dan metode ini dikembangkan berdasarkan sifat dasar (the nature) dari bahan kajiannya. Kendati ada perbedaa, kajian hukum bidang tertentu tetap memiliki kesamaan dengan kajian hukum bidang lain, yang timbul karena sifat hukum yang juridis normatif. Karena itu pula, pada umumnya pendekatan danmetode yang lazim digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan juridis normatif atau normatif-empiris. Penetapan metode ini bergantung pada masalah atau peristiwa hukum yang akan diteliti.
Sebagaimana telah dikemukakan dalam permasalahan penelitian hukum, maka terhadap berbagai masalah hukum yang bermacam-ragam itu, dengan berbagai macam sifat penelitian dan bidang studi yang akan dilakukan, pada umumnya dapat dilakukan dengan pendekatan normatif, empiris, normatif-empiris, dan belakangan pendekatan kritis (critical legal studies). Walaupun pendekatan itu dikatakan dilakukan dengan pendekatan historis, antropologis atau sosiologis, kalau yang diteliti atau dibahas itu masalah hukum, ia tidak terlepas dari norma-norma hukum, apakah berasal dari perundangan atau dari hukum adat.

1.1. Pendekatan Normatif

Istilah pendekatan' adalah sesuatu hal (perbuatan, usaha) mendekati atau mendekatkan. Jadi pendekatan normatif dalam hal ini dimaksudkan sebagai usaha mendekatkan masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang normatif. Pendekatan normatif itu meliputi asasasas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi (penyesuaian) hukum, perbandingan hukum atau sejarah hukum. Jika dilihat dari permasalahan hukumnya, jika masalahnya menyangkut materi hukum ketatanegaraan, maka pendekatan normatifnya, dengan membaca, mempelajari dan menguraikan tentang norma-norma, pasal-pasal perundangan, pandangan pendapat para ahli di bidang hukum ketatanegaraan. Uraian tersebut dikemukakan dalam kerangka teori dan konsepsi, di dalam tinjauan kepustakaan dan digunakan untuk membahas dalam penyajian data.
Begitu pula jika pennasalahan huku.mnya menyangkut materi Imkum perdata dagang, maka pendekatan normatifnya adalah yang mengenai hukum perdata dagang. Demikian pula jika permasalahannya termasuk dalam hukum perdata keagamaan, maka pendekatan normatifnya adalah mengenai hukum keagamaan, dan seterusnya. ndalah keliru jika permasalahannya dalam ruang lingkup Hukum Islam dilakukan dengan pendekatan normatif Hukum Administrasi Negara. Kecuali apabila permasalahan Hukum Administrasi dilihat dari sudut Hukum Islam. Misalnya masalah Hukum Perpajakan dilihat dari sudut Hukum Islam (zakat, infaq, sadaqah), atau sebaliknya.
Tetapi dapat juga pendekatan normatif menyangkut beberapa aspek hukum, misalnya melakukan studi kasus dengan masalah: 'Bagaimana pertimbangan dan keputusan pengadilan tentang perkawinan antara suami beragama Kristen dengan isteri beragama Islam'
Dengan masalah hukum tersebut, maka pendekatan normatifnya tidak saja berdasarkan pasal-pasal Undang-Undang No 1 tahun 1974 dan Peraturan-peraturan pelaksanaannya, tetapi juga pasal-pasal Hukum Acara, Hukum Islam dan Hukum Kristen, yang kesemuanya bertautan dengan Hukum Perkawinan.
Demikian selanjutnya pendekatan normatif tadi berguna untuk menganalisis data-data dalam uraian penyajian data, untuk mendapatkan kesimpulan dari hasil penelitian pada akhir laporan dalam bentuk karya ilmiah.

1.2. Pendekatan Empiris

Istilah empiris artinya bersifat nyata. Jadi, yang dimaksudkan dengan pendekatan empiris adalah usaha mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Jadi penelitian dengan pendekatan empiris harus dilakukan di lapangan, dengan menggunakan metode dan teknik penelitian lapangan. Peneliti harus mengadakan kunjungan kepada masyarakat dan berkomunikasi dengan para anggota masyarakat.
Dengan pendekatan empiris bukan berarti tidak ada sama sekali pengertian-pengertian teoritis yang dapat dikemukakan peneliti, namun hanya pokok-pokok pengertian yang telah diketahuinya, yang belum mendalam, dikarenakan si peneliti masih kurang mengetahui dan menguasai teori-teori tersebut. Yang penting dalam pendekatan empiris adalah apa yang dialami dan didapat datanya oleh peneliti di lapangan.
Penelitian dengan pendekatan empiris selalu diarahkan kepada identifikasi (pengenalan) terhadap hukum nyata yang berlaku, yang implisit berlaku (sepenuhnya) bukan yang eksplisit (jelas, tegas diatur) di dalam perundangan atau yang diuraikan dalam kepustakaan. Begitu pula diarahkan kepada efektivitas (keberlakuan) hukum itu dalam kehidupan masyarakat.
Dari data-data yang dikumpulkan di lapangan, maka dapat diketahui apakah hukum yang diatur di dalam perundangan atau teori-teori yang diuraikan dalam kepustakan hukum, benar-benar berlaku dalam kenyataan, ataukah belum berlaku, tidak berlaku, terjadi penyimpangan, telah berubah dan sebagainya.

1.3. Pendekatan Normatif Empiris

Dari uraian di atas maka penelitian terhadap masalah hukum yang sempurna adalah.yang menggunakan pendekatan tidak saja pendekatan normatif dan pendekatan empiris tetapi pendekatan dari keduanya ialah pendekatan 'normatif-empiris'. Dengan demikian si peneliti tidak saja berusaha mempelajari, pasal-pasal perundangan pandangan pendapat para ahli dan menguraikannya dalam karya penelitian ilmiah, tetapi juga menggunakan bahan-bahan yang sifatnya normatif itu dalam ranpka mengulas dan menganalisis data lapangan yang disajikan sebagai pembahasan.
Dalam penelitian terhadap masalah yang menyangkut peraturan memang dapat digunakan pendekatan nomatif semata, dengan melakukan penelitian kepustakaan dan dokumentasi saja tanpa turun ke lapangan, misalnya untuk membahas putusan-putusan pengadilan (jurisprudensi) atau kalau dalam hukum Islam oleh kelompok-kelompok keagamaan, dengan metode perbandingan antar putusan, tetapi akan lebih sempurna jika dilakukan juga pendekatan empiris, apalagi jika masalahnya mengenai hukum yang sangat majemuk.
Oleh karena penelitian yang baik itu dilakukan dengan pendekatan normatif-empiris, dengan mengumpulkan data tidak saja data pustaka tetapi juga di lapangan. Selanjutnya, karena penelitian lapangan meniscayakan komunikasi dengan para anggota masyarakat, maka pcndekatan normatif-empiris, dapat juga disebut pendekatan 'normatif sosiologis' atau 'normatif antropologis’. Dengan memanfaatkan sosiologi hukum dan antropologi hukum, sesuai dengan masalah hukum yang diteliti. Jika masalahnya mengenai aspek kemasyarakatan maka termasuk dalam sosiologi hukum dan jika mengenai aspek manusia (perilaku) maka ia termasuk dalam antropologi hukum.

2. Mazhab Penafsiran Temuan

Apabila pelaksanaan pengumpulan data dengan metode dan teknik pengumpulan data telah selesai dan semua data baik dari kepustakaan maupun dari lapangan telah terkumpul, maka untuk dapat disajikan dan diuraikan atau dibahas sedemikian rupa, sehingga menjadi suatu laporan hasil penelitian yang baik, semua data yang telah terkumpul itu harus diolah.
Paradiga penafsiran merupakan suatu cara pandang untuk menggambarkan sesuatu dengan mengolahnya sebagaimana orang melihatnya dalam kenyataan yang bersifat teori, terhadap data-data yang telah terkumpul dalam penelitian ilmu hukum sebagaimana ilmu sosial lainnya, terdapat dua Airan yang mempengaruhi, yaitu mazhab fenomenologi, mazhab positivisme, belakangan mazhab kritis.

2. l. Mazhab fenomenologi

Mazhab fenomenologi adalah mazhab yang melihat fenomena sebagai sesuatu hal yang dapat diamati dengan indera dan diteliti secara ilmiah, tentang gejala atau peristiwa yang penting atau sangat menarik perhatian. Mazhab ini lebih mengutamakan pemahaman terhadap peilaku manusia dari sudut pandang orang-orang yang berngkutan, sehingga metode dan teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan observasi partisipasi, dan dengan melakukan wawancara yang memakai catatan pertanyan sebagai pegangan, dan mungkin juga akan menganalisis uraian kualitatif dokumen pribadi.
Jadi mazhab fenomenologi dalam pengumpulan data melakukan pendekatan kualitatif dalam arti untuk mendapatkan data deskriptif dari jawaban atau keterangan responden secara lisan atau tertulis dan prilakunya dalam kenyataan. Mazhab ini lebih sesuai untuk penelitian yang lokasi penelitiannya terbatas dengan subjek penelitian terbatas pula.

2.2. Mazhab Positivisme

Mazhab positivisme adalah mazhab filsafat yang membatasi bidang pengetahuannya pada sesuatu yang dapat diamati dengan indera termasuk pula dalam bidang kesusilaan dan hukum. Mazhab ini lebih mengutamakan pengumpulan fakta atau sebab-sebab terjadinya gejala atau peristiwa hukum tertentu. Metode dan teknik pengumpulan data dilakukannya dengan menggunakan kwesioner berstruktur tertutup dan terbuka dan juga dengan alat pengumpulan data yang lain. Data-data yang dikumpulkan adalah data-data kuantitatif sehingga memungkinkan untuk membuat korelasi diantara gejala atau peristiwa dengan menggunakan statistik (catatan angka-angka), sehingga laporannya dapat disusun dengan sistem tabulasi, dalam bentuk tabel-tabel.
Dengan demikian mazhab ini dalam pengumpulan data melakukan pendekatan kuantitatif, dalam arti memperhatikan masalah yang diteliti serta berusaha memecahkan atau menjabarkannya untuk kemudian dapat ditarik rampatan dalam ruang lingkup yang luas. Mazhab ini lebih sesuai untuk penelitian yang lokasinya luas dengan responden yang banyak jumlahnya.
Baik mazhab fenomenologi maupun mazhab positivisme dapat digunakan dalam pengumpulan data yang normatif atau empiris atau normatif empiris terhadap berbagai masalah hukum. Jika penelitian terbatas pada lokasi tertentu, misalnya di suatu instansi tertentu atau desa tertentu dan responden sedikit, maka pengolahan datanya bersifat kualitatif; apabila lokasi penelitiannya luas, terhadap beberapa instansi atau beberapa desa dengan responden yang banyak, maka pengolahan datanya bersifat kuantitatif.
Apabila dalam ilmu kimia analisis dilakukan di laboratorium untuk mengetahui zat-zat bagian, maka analisis dalam ilmu sosial dilakukan terhadap masyarakat, untuk mengetahui seluk-beluk sesuatu hal dalam masyarakat, atau untuk mengetahui sebab akibat terjadinya sesuatu hal dalam masyarakat, maka dalam penelitian masalah hukum, orang mengumpulkan data-datanya untuk mendapatkan pengertian tentang adanya hubungan, persamaan, perbedaan, pertautan, sebab akibat dan sebagainya tentang masalah hukum yang diteliti.
Analisis kualitatif ini ditujukan terhadap data-data yang bersifat kualitatatif, misalnya sifat yang nyata berlaku dalam nmsyarakat. Perhatian utama analisis ini adalah bagaimana memahami sifat-sifat gejala yang benar-benar berlaku, bukan yang hanya dikehendaki berlaku (positif) secara eksplisit tetapi yang implisit, yang memasyarakat (sosiologis). Jadi yang penting bukan kaidah-kaidah hukum dalam peraturan perundangan tetapi kaidah-kaidah perilaku dalam kenyataan masyarakat.
Analisis kualitatif tidak mendasarkan penelitiannya pada pegunnpulan data dari lokasi yang luas dengan responden yang banyak, dengan keterangan jawaban yang banyak, yang bersifat umum. Walaupun lokasinya terbatas, respondennya sedikit, jika data-data yang didapat itu merupakan kenyataan yag berlaku, maka data-data tersebut telah cukup membuktikan kebenaran. Oleh karenanya penyajian data dan analisis datanya dideskripsikan dalam bentuk uraian dengan kalimat yang relatif panjang yang bersifat membahas dan menguraikan permasalahan yang penting.

1.3. Mazhab Kritisisme

Dari kalangan gerakan sosial lahir CLS, yaitu yang berbasis di lapangan akademik, praktisi hukum yaitu mempersoalkan keterbatasan ilmu hukum yang ada kemudian mereka memperkenalkan pendekatan yang lain. Tentu saja mereka banyak dipengaruhi teori kritis ilmu sosial Marxian dan teori kritis yang lain, Hal itulah yang mewarnai mereka dalam melihat fenomena hukum, kalau dulunya mereka melihat dari realisme hukum, itu juga sangat radikal yang mengkritik positivisme, mereka mengambil manfaat realisme itu tapi melampaui apa yang dicapai realisme, pada dasarnya sumber pemikiran mereka berasal dari american legal realism yang melihat hukum tidak universal tapi terkait dengan apa yang disaksikan dalam masyarakat. Bagaimana masyarakat memahaminya, itulah hukum, bukan berdasarkan yang dipahami dalam bangku ilmu hukum, bukan silogisme, analog dan sebagainya, tapi yang ada di masyarakat itulah yang diambil oleh CLS dengan melihat lebih jauh lagi
Pertama, CLS ingin melihat hukum agar hukum dipandang sebagai produk politik, jadi bukan hal yang terpisah dari politik, maka itulah hidden agenda harus dilihat, misalnya penerapan hukum, ajudikasi, bukan hanya menyangkut kemampuan hakim dalam menerapkan hukum berdasarkan logikan silogisme, tetapi hakim juga dipengaruhi oleh struktur politik di mana dia berada. Yng ingin ditanamkan di sini adalah suatu sikap kecurigaan pada produk itu. Krena itulah mereka mengatakan bahwa hukum itu tidak netral, tidak bebas nilai, hukum itu senantiasa produk dari pergolakan politik dari kelas-kelas di masyarakat baik yang diuntungkan maupun dirugikan.
Kedua, CLS itu mempersoalkan legitimasi, dia ingin menyoal apakah suatu hukum itu legitimate atau tidak? Dalam positivisme, kita tidak pernah mempertanyakan legitimasi. Kita tidak peduli atau tidak mempersoalkan suatu sistem hukum karena memang ia dibuat oleh lembaga yang berkompeten untuk itu. Justru dalam CLS masalah itu dipersoalkan legitmasinya, termasuk badan pembuat peraturan itu sendiri (Bahsul matsail atau Majelis Tarjih), di sinilah aspek ideologi dilihat. Mereka melihat hukum sebagai suatu ideologi yang bisa memelihara sistem. Hal ini yang ingin diungkap oleh CLS.
Ketiga, CLS menampilkan kontradiksi hukum liberal atau hukum positivisme, mereka menunjukkan beberapa doktrin, prinsip, adagium yang sering kita dengar itu adalah suatu kontradiktif yang bohong besar, misalnya doktrin semua orang sama di depan hukum; the rule of law, kebebasan berkontrak, dan lain-lain. Mereka menunjukkan ada konstradiksi dalam doktrin-doktrin atau adagium tadi.

D. Wasana Kata

Sosiologi menempatkan hukum sebagai salah satu bentuk norma sosial. Norma itu sendiri, memiliki hubungan timbal-balik dengan masyarakat. Dengan ungkapan lain, pola perilaku masyarakat dibentuk oleh norma, tetapi pada gilirannya pola perilaku masyarakat yang melembaga akan membentuk norma. Dengan demikian, pola pikir yang tersedia ada dua, yaitu: deduktif manakala kita berpegang pada kaidah bahwa perilaku masyarakat (Islam) dibentuk norma (hukum Islam); dan induktif manakala kita berkeyakinan bahwa norma (hukum Islam) dibentuk oleh perilaku terpola masyarakat.
Apa yang di bagian depan disebut sebagai pendekatan normatif-empirik, tidak lain adalah penerapan cara pandang timbal-balik tersebut. Karena itu pula, ada cukup banyak ahli hukum yang berpendapat bahwa pendekatan ini yang paling baik diterapkan dalam penelitian hukum. Akan halnya menyeruaknya CLS dalam penelitian hukum, tidak bisa tidak harus dikaitkan bahwa betapa pun hukum itu ditahbiskan memiliki kenetralan, tetap saja ia dijalankan oleh MANUSIA. Manusia, dalam perspektif sosiologi kritis, tidak bisa tidak adalah pemburu kepentingan pribadi (self-interest seeker). Jadi, kepada para calon ahli hukum ada keharusan untuk bersikap kritis, justru untuk menjaga kemurnian hukum Islam itu sendiri dari kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok.
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar